Minggu, 22 April 2012

Katanya Pro-Masyarakat, Nyatanya !?



Lagi-lagi, saya bertanya kepada guru PKn saya untuk mendapatkan seutas pencerahan. Sebetulnya, postingan ini sudah saya rencanakan jauh-jauh hari, namun, saya masih saja belum mendapatkan pencerahan. Yo wis lah, saya bertanya saja kepada guru PKn saya.


Saya (N) : Bu, ada nggak UUD yang menyangkut tentang menyampaikan pendapat ?

Guru (B) : Ada, pasal 28 dan 28E ayat (3).

Saya (N) : Yang 28E kalau nggak salah bunyinya begini ‘kan, bu ?

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

B : Betul.

N : Nah, bu. Permasalahannya disini, kalau demo yang anarkis, boleh ya, bu ? Soalnya disini sudah tercantum Bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

B : Demo sih boleh-boleh aja, tapi, kalau berdemo dengan anarkis. Ya, bahaya. Nggak boleh.

N : Kenapa, bu ?

B : Begini, ambil contoh lagi, demo kenaikan harga BBM. Pendemo tersebut ngaku-ngakunya Pro-Rakyat.  Mendukung rakyat. Nyatanya ? Waduh. Bakar-bakar ban, nyebabkan polusi. Ngelempar-ngelempar bom gitu kayak di Surabaya. Nah, ‘kan jadi nimbulin keresahan. Apakah itu namanya Pro-rakyat ?
Jadi, intinya, pendemo itu adalah pengkhianat. Katanya, mereka adalah Pro-rakyat, eh, nyatanya, meresahkan. Ambil saja, contoh lagi, saya lupa kejadiannya dimana, para pendemo menutup salah satu rumah makan cepat saji. Apa nggak rugi orang yang sedang (baru saja) makan, terus diusir keluar ? Masih mending dia sudah menghabiskan seperempatnya, yang baru saja mesen terus duduk di kursi, belum menyentuh makanannya sama sekali ? Rugi banget ! Itu pro-masyarakat ? Pikir kembali.

Tapi, mereka ‘kan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Patut dong dikasih cap “Pro-masyarakat”.

Apakah tidak bisa dengan baik ? Harus rusuh begitu ? Kalau rusuh begini, bisa kita bilang, pendemo itu tidak elit. Elit bukan artinya kaya, namun, sopan, santun, dan penuh tata krama. Bisa ‘kan kita pakai cara yang aman dan damai. Bukan cara yang rusuh dan merugikan ini ?
 Sekarang, pertanyaan saya,

Kenapa harus anarkis ? Bukankah mereka sudah diajari sopan santun ? Atau, mereka tidak pernah diajari sopan santun ? Emang orangtua mereka siapa ? Preman pasar minggu ? Jadinya, tidak bisa demo secara aman, namun, harus secara anarkis, gitu ?

0 komentar:

Posting Komentar